Bahwasanya kecurigaan itu adalah absah saja, paling tidak secara ilmiah. Teoritikusnya ada tiga orang: Karl Marx, Sigmund Freud dan Friederich Nietzsche. Yang pertama mengajarkan pentingnya curiga pada kendali sitem ekonomi yang eksploitatif, yang kedua memberitahukan pentingnya curiga pada sistem psike tak sadar, dan yang terakhir pentingnya kecurigaan pada fondasi metafisis yang tidak jujur. Sementara itu, muncul lagi orang lain, Jurgen Habermas, yang memberi warna baru terhadap apa yang kita sebut curiga. Warna baru itu dia sebut “kritis”. Sayang, tidak mudah menjabarkan apa itu kritis. Tapi yang jelas, kritis adalah warna lain kecurigaan.
Hari ini menjadi relevan kata peribahasa, Karena nila setitik, rusak susu sebelanga, dimana kesalahan satu orang dalam sebuah tim dapat menjatuhkan kekompakan seluruh angota tim.
Hal itu nampak berlaku, pada suasana kerja di Direktorat Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak pada Kementerian Keuangan tidak lagi nyaman. Rekan-rekan Gayus Tambunan tetap masuk kerja, tetapi saling mencurigai satu sama lain. Pekerjaan pun terhambat karena semua atasan Gayus di Direktorat Keberatan dan Banding telah dibebastugaskan. (sumber : cetak.kompas.com, Kamis, 1 April 2010).
Merebaknya kasus makelar pajak Gayus Tambunan menimbulkan keresahan besar di kalangan pegawai pajak. Banyak di antara mereka yang kecewa, marah dan sakit hati dengan ulah Gayus Tambunan.
Bahkan menyakitkan “….peristiwa yang menimpa karyawan pajak yang memakai seragam Ditjen Pajak karena hari terakhir penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak pada Rabu kemarin, 31 Maret 2010. “Saat dia turun dari kereta KRL Jabodetabek, diteriaki maling oleh penumpang kereta,” kata Pandu. Tentu saja karyawan itu menangis karena dia merasa tidak berbuat buruk seperti Gayus. (sumber : VIVAnews, Kamis, 1 April 2010).
Ini adalah sebuah konsekuensi, masyarakat beranggapan, semua pegawai pajak kelakuannya sama dengan Gayus. Cerita lainnya adalah orang tua di kampung yang marah-marah pada anaknya setelah menonton televisi tentang Gayus Tambunan. Orang tua tersebut merasa tidak enak dengan tetangga karena anaknya bekerja di Ditjen Pajak. Bapaknya kemudian menelepon sang anak di Jakarta karena dia juga golongan IIIA seperti Gayus Tambunan. Bapaknya curiga jangan-jangan anaknya berbuat buruk seperti Gayus. “Apakah kamu koruptor seperti Gayus,” kata dia menirukan curhat anak buahnya. (sumber : www.matabumi.com, Thu, 01/04/2010).
Bayangkan seorang pegawai Ditjen Pajak yang baru berkarir 5 tahun, berumur 30 tahun dan digaji hanya 12 juta perbulan telah dapat memiliki beberapa rumah mewah dan mobil mewah. Dan terakhir ditemukan aliran dana ke rekeningnya senilai Rp 25 miliar.
Timbul Penyakit
Sudah dari sana menggelinding dunia terasa indah dengan adanya persaingan, dalam bidang apapun persaingan pasti terjadi. Mulai dari proses penciptaan kita sampai ajal menjemput, persaingan selalu terjadi, dalam diri kita saja selalu terjadi persaingan, persaingan antara malas dan rajin,persaingan antara baik dan buruk, persaingan antara optimis dan pesimis, dan jutaan persaingan lainya.
Di zaman modern yang penuh dengan persaingan, terutama di kota-kota besar, kehidupan terasa berat untuk ditempuh. Ketatnya persaingan hidup dan budaya yang mengedepankan materi membuat seseorang bisa stress dan merasa tertindas.
Banyak orang yang merasa tertindas oleh kondisi, ia penuh curiga. Apa yang dilakukan orang lain selalu dipandang negatif. “Jangan, jangan …” Kalimat itu yang selalu terbayang jika ada orang mendatanginya. Contoh penyakit terjangkiti sekarang ini di masyarakat sendiri telah berkembang stigma negatif dengan pegawai pajak. Dengan kondisi seperti ini sikap sebagian masyarakat tidak bisa dipersalahkan. Hanya transparansi dan mekanisme monitoring yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional yang bisa menjamin kalau pegawai pajak tidak semuanya konyol. Kalau
semua masih tertutup dengan arogansi kekuasaan seperti sekarang ini, orang pasti akan terus curiga dan tentunya serta merta jangan salahkan masyarakat.
semua masih tertutup dengan arogansi kekuasaan seperti sekarang ini, orang pasti akan terus curiga dan tentunya serta merta jangan salahkan masyarakat.
Namun perlu diingat, menurut optik kesehatan, bahwa kecurigaan berlebihan bahkan bisa menimbulkan penyakit jiwa. Dalam sebuah cerita dari negeri Cina dikisahkan ada seorang wanita yang sudah sangat tua menderita penyakit yang lama tidak sembuh-sembuh. Dalam penderitaannya di tempat tidur tiba-tiba ia merasa orang-orang akan membunuhnya. Setiap sang suami atau anaknya menyediakan bubur ia merasa akan diracun. Ia beranggapan karena sakitnya tidak sembuh-sembuh, barangkali keluarganya menganggap sebagai beban terutama masalah financial. Daripada menyusahkan lebih baik “diselesaikan” saja. Padahal diantara keluarganya tidak ada yang beranggapan seperti itu. Kecurigaan seperti itu tentu sudah amat parah. Wanita tadi sudah sampai pada penyakit jiwa. Padahal sebetulnya, kecurigaan tersebut terbangun atas sikap hidupnya sendiri selama ini yang meterialistis. Ia menganggap segala sesuatu dinilai dengan uang, dengan untung rugi. Ia menganggap keluarganya akan rugi jika mengeluarkan uang terus-menerus untuk mengobatinya, padahal ia tidak sembuh-sembuh. (sumber : www.palgunadi.com, - 2010).
Hidup penuh dengan kecurigaan itu sangat melelahkan.. padahal asumsi kita saat itu belum tentu benar.. sehingga hal itu bisa menjadi sumber sebuah pertengkaran.
Penyakit Di Antara Kita
Diantara sifat curiga yang ekstrem tersebut banyak juga terjadi diantara kita, terutama yang tinggal di wilayah perkotaan sekarang ini, banyak mengidap penyakit curiga yang berlebihan. Seseorang yang selalu curiga biasanya didasari oleh pengalaman yang kurang baik sebelumnya.
Lebih berbahaya-Nya lagi muncul sifat kurang baik yang lebih tinggi dari kecurigaan adalah apatis. Apa yang dilakukan oleh orang lain sudah tidak dianggap olehnya. Ia sudah menutup jalan bagi dialog, sudah tidak mau bercampur tangan dengan yang lain. Ia orang yang apatis. Ia tidak saja cuek, tapi sama sekali tidak menghiraukan. Perasaannya tanpa emosi, lesu, dan impasif. Apa yang dikerjakan orang terhadapnya tidak membuatnya tertarik. Ia malah acuh tak acuh.
Biasanya orang yang seperti ini mempunyai pengalaman buruk yang sulit hilang dari kenangan. Ia begitu shock dengan pengalaman buruknya itu sehingga ia apatis tidak saja menghadapi pengalaman yang sama namun juga kejadian apa saja.
Orang apatis semacam ini agak susah diobati. Bagaimana akan mengobati kalu mendekat saja ia sudah tidak mau menerimanya. Ketika kita menyampaikan penjelasan, kita memberikan perhatian. Jauh-jauh pintu sudah ditutup olehnya, sebelum kita menemuinya. Padahal kita bermaksud baik.
Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English: apathy is an absence of simpathy or interest. Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek.
Puncak dari semua ini adalah melakukan permusuhan kepada siapa saja. Ketertekanan kehidupannya oleh situasi membuat ia mudah tersinggung dan melakukan perlawanan. Hanya karena sebab-sebab kecil, langsung emosinya meluap dan mengajak berantem. Bagi masyarakat kota, akan mudah dijumpai orang yang terkena penyakit ini. Pertengkaran diakhiri dengan pembunuhan. Kejadian seperti itu sangat mudah ditemukan. Kerasnya persaingan dan musibah yang selalu mendera tanpa dibarengi dengan kesabaran akan membuat seseorang berhati keras. Kekerasan hati akan menjadikan seseorang mudah tersinggung dan melakukan reaksi fisik yang spontan. Seseorang melakukan permusuhan tidak hanya karena dilukai orang lain. Tapi diperlakukan baik pun ia tersinggung. Ketika seorang melakukan kesalahan, ada yang mengingatkan ia justru marah. Begitulah, kehidupan di ibu kota. Orang mudah tersinggung. Dengan demikian, Anda mudah tersinggung atau kecewa. Mudah marah merupakan ciri khas saat depresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar