Oleh Er Maya Nugroho
Memilih menjadi ibu rumah tangga adalah keputusan terhebat wanita. Profesi yang boleh saya bilang sebagai profesi multi talenta, banyak tantangan, tanpa kenal aturan nine to five. Pun, tanpa gaji atau bonus.
Wanita hebat dalam hal multitasking, ini karena selain terhubung dari sifat alami bawaan sejak lahir (nature), bahwa corpus collosum wanita nyata-nyata lebih luas daripada pria, yang memungkinkan wanita melakukan multitasking lebih efisien, ternyata disangkutkan pula dengan kebiasaan (nurture) yang berpengaruh serta imbas produk liberal berjudul kesetaraan gender.
Namun, hebat saja ternyata belum cukup. Berat dirasa sebagian kaum ibu itu, meski reward yang mereka terima sepadan dengan rasa bahagia saat melihat si kecil melangkah pertama kalinya atau saat mengetahui si sulung bisa berhitung dan mengayuh sepeda roda duanya untuk pertama kalinya dengan berani.
Pada sebuah studi yang diterbitkan dalam Jurnal Psikologi Keluarga edisi Desember, terungkap, ibu yang mampu membagi waktu antara karir dan keluarga ternyata lebih bahagia dan lebih sehat, dibandingkan ibu rumah tangga yang sekedar fokus mengurus rumah tangga dan keluarga saja.
Ekonomi rumah tangga, barangkali telah menjadi alasan tersendiri, atau untuk sebuah alasan kesetaraan gender yang diperjuangkan Kartini pada masanya, kaum ibu yang merasa "terjebak" di dalam rumah dan lalu merasa tidak bahagia lantas meminta hak kepada pasangannya. Tak sekedar demi hak mengaktualisasi diri, mereka ingin pula berkarya, menjadi mandiri dan berdikari.
Para ibu bekerja tersebut mengalami depresi lebih sedikit dan memiliki kesehatan lebih baik secara keseluruhan daripada ibu yang tinggal di rumah. Dan, efek ini ternyata hanya terjadi pada ibu dengan anak yang berusia muda dan tidak berlaku pada ibu yang memiliki anak usia sekolah.
Terambil responden sebanyak 1.364 ibu yang berasal dari Arkansas, California, Kansas, Massachusetts, North Carolina, Pennsylvania, Virginia, Washington dan Wisconsin, dimana penelitian telah dilakukan sejak 1991. Peneliti mewawancarai ibu sejak buah hati bayi, memasuki usia pra-sekolah hingga masuk sekolah dasar.
Lantas, benarkah pengabdian ibu rumah tangga yang begitu besar pada keluarga telah membuat mereka tidak bahagia dan merasa tidak sehat? Meski pengabdian itu tidak ternilai dengan materi, tidak pula berdasarkan pamrih. Vivi, 30an tahun. seorang ibu, juga pekerja di dunia kedokteran, yang memiliki satu putra, merasa perlu cinta dan pengorbanan yang besar bagi seorang ibu bekerja seperti dirinya untuk bisa menjadi ibu yang baik.
"Bangunlah keluargamu dengan segenap dan kesungguhan CINTA.. Jangan membangunnya di atas sisa-sisa.. Sisa-sisa dari kelelahan pekerjaan yang menguras segenap perhatian dan energimu.. Lantas, apa jadinya bila rumah tangga dibangun di atas sisa-sisa?" (terambil dari status Vivi di situs mikroblogging)
Pernyataan Vivi bagai sebuah cambuk untuk ibu yang telah berani memilih menjadi ibu rumah tangga, untuk tetap tegar mengabdi diiringi keikhlasan berbalut cinta dan kasih yang terbaik bagi utuhnya keluarga mereka. Tak sekedar, keluarga yang dibangun di atas sisa-sisa kelelahan.
Dan seharusnya seorang ibu rumah tangga bisa merasa bahagia dan sehat juga percaya diri, karena ia sanggup mewujudkan dirinya ke dalam banyak profesi, meski tanpa perlu ia melangkah keluar rumah untuk memenuhi haknya mengaktualisasi diri.
Ibu rumah tangga adalah "perawat" bagi suami dan anak-anak saat mereka jatuh melemah dan sakit. Meski hadirnya ibu hanya berupa sentuhan lembut di dahi atau pelukan hangat yang menenangkan. Hadirnya adalah obat mujarab.
Ibu rumah tangga adalah "pakar gizi". Ia menyediakan makanan sehat dengan gizi seimbang untuk suami dan anak-anaknya. Ia sangat tahu makanan apa yang terbaik untuk anak-anaknya yang tengah dalam masa pertumbuhan. Saat memasak, ibu menyelipkan pula doa agar suami dan anak-anak merasakan berkah atas masakan yang dibuatnya.
Ibu rumah tangga adalah "ekonom" sejati. Ialah bendahara terbaik dalam sebuah negara kecil bernama rumah tangga. Ia mengatur dengan baik semua pendapatan dan pengeluaran. Ia mengolah pendapatan yang diberikan suami kepadanya agar terasa berkah. Agar semua kebutuhan terpenuhi tanpa harus berhutang untuk menambal kebutuhannya.
Tidak berlebihan bukan, jika saya lalu mengatakan, ibu adalah pondasi negara untuk membangun generasi yang akan datang. Dimana perekonomian keluarga di bawah manajemen ibu ternyata tidak hanya sangat berpengaruh pada kehidupan keluarga tetapi juga pada perekonomian negara. Tilik bagaimana akar korupsi telah menjalar kemana-mana. Salah satu sebab, karena lemahnya manajemen perekonomian rumah tangga. Sehingga entah sengaja atau tidak, membuka kesempatan para koruptor menggasak uang negara dan rakyat.
Ya, ibu rumah tangga juga seorang ahli kejiwaan. Hadirnya memberi ketenangan dan kesehatan jiwa seluruh anggota keluarga, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia bisa menjadi mediator atau penengah bagi hati seluruh anggota keluarganya yang tengah gundah. Ia hadir dengan hati lembut dan netral, bersedia membimbing suami dan anak-anaknya menghadapi kondisi yang berat di luar sana. Inilah yang berpengaruh pula pada kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat.
Pun, ibu rumah tangga adalah pengajar dan pendidik bagi anak-anaknya. Ialah yang setia mengajarkan kepada anak-anaknya tentang makna hidup dan kehidupan. Ialah ibu yang tidak pernah lelah mengajarkan kebaikan, agar anak-anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi yang berprilaku dan berakhlak baik.
Jadi, masihkah Anda berkeluh kesah [hanya] menjadi ibu rumah tangga, dan berat menjalani sebuah profesi yang luar biasa, the most fabulous career ever itu? Sementara, pilihan Anda tersebut belum pula dihitung dengan kalkulasi untuk simpanan jangka sangat panjang, yaitu kehidupan setelah mati.
(maya/CN19). Suara Merdeka.