Presiden Soekarno dan istri kelimanya, Dewi Soekarno yang berkebaya (foto: rosodaras.wordpress.com)
Oleh Er Maya Nugroho
MINTARJO, sebut saja nama pria paruh baya asal desa Selarejo, Magetan itu sebagai sosok "tua-tua keladi". Ia rupanya sedang
kesengsem (suka, red) pada Ngatirah yang ayu dan kenes. Ngatirah, yang tak lain istri tetangganya itu telah membuat hati Mintarjo berdebar tak keruan.
Melihat Ngatirah berkebaya dan berselendang biru hendak kondangan, Mintarjo dari balik tembok rumahnya tak sengaja bersenandung lagu karya Ki Narto Sabdo:
kedhep tesmak aku nyawang slendang biru, gelungane methok, lamatan tasikane, ngagem kebayak ungu nyamping bathik, eseme solahe, salagane gawe bingung (terpesona kumelihat selendang biru, konde menantang dengan bedak tipis, berkebaya, senyum dan gayanya bikin pusing, red)
Hm, ya begitulah kiranya pesona wanita berkebaya sanggup membuat sebagian pria, tak terkecuali Mintarjo kelimpungan. Bahkan di mata seseorang (terutama sebagian pria) yang tumbuh dan besar dalam iklim Jawa yang konservatif, sosok wanita berkebaya identik dengan keseksian yang tersaji dalam satu paket keindahan. Tak hanya anggun menawan namun juga eksotik, sanggup memancarkan aura sensualitas tersendiri.
Lihat, bagaimana kebaya berbahan brokat menerawang serta kain jarik yang membungkus tubuh dari pinggang hingga kaki selalu mengekspos jelas bentuk lekuk tubuh pemakainya. Bagai siluet jam pasir yang berjalan, pinggul menawan itu memperlihatkan lekuk torso yang menggairahkan, pun jarik yang dibalut ketat pada tubuh itu sanggup menampilkan pantat yang terangkat sempurna.
Dan meski busana khas Jawa itu terlihat ribet, namun tak membatasi gerak tubuh pemakainya sehingga mereka masih sanggup melenggang seksi. Tak ayal, keindahan ragawi yang terpancar dalam balutan kebaya ini semakin menggugah rasa penasaran dan penuh misteri. Apalagi kalau bukan lewat cara bertutur yang halus dan tertata, dengan pandangan mata menggoda, menyambar dan menggetarkan jiwa para penikmat keindahan pesona kecantikan Jawa.
Kebaya yang erat terkait dengan simbol keseksian itu barangkali bermula dari tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta. Konon, sembilan orang penari perempuan yang menarikan tarian tersebut haruslah pilihan terbaik. Mereka, para penarinya, haruslah berwajah rupawan. Tubuh mereka dibalut kain jarik, sedang bagian atas tubuh terbuka, memancarkan kulit kuning langsat yang berkilau lulur. Dengan rambut yang disanggul rapi, para penari bergerak gemulai, pelan mengikuti irama gending jawa, seakan sedang menyampaikan sebuah pesan.
Lalu, pesan apa yang hendak disampaikan para penari tersebut? Di salah satu tulisannya, budayawan Seno Gumira Adjidarma menyebut tarian ini amat sakral sekaligus sarat makna birahi dan seksualitas. Bahkan berkembang anekdot, para penari haruslah perawan, sebab raja akan memilih salah seorang penari untuk menemaninya tidur malam itu.
Seksualitas yang kentara dalam tarian itu, kata Seno, bukan pada bagian tubuh yang terbuka. Justru bagian tubuh yang sesekali terlihat mengintip di balik kain jarik yang dikenakan penari tersebut yang mengundang decak kagum dan rasa penasaran. Ya, lekukan kaki diantara tumit dan mata kaki, saat kaki menyapu kain jarik yang menjuntai ke bawah, itulah keseksian sejati yang tertangkap mata.
Wanita dengan lekuk kaki yang sensual, konon, dianggap mampu menunjukkan kemampuan permainan cintanya di atas ranjang. Meski aneh, kedalaman lekuk kaki menjadi patokan hebat tidaknya wanita dalam bercinta. Artinya, semakin berkurang lekuknya, semakin rendah pula seksualitas (daya tarik seks) seseorang. Hmm..
Kembali pada kebaya. Disebutkan dalam sejarah, Soekarno, mantan presiden RI itu juga menyukai wanita berkebaya dan berkain jarik. Di masanya, kain jarik dan kebaya bahkan muncul di kalangan elit di wilayah publik dan berstatuskan sebagai pakaian nasional.
Kesukaan Soekarno pada wanita berkebaya itu diperkuat dalam disertasi Saskia Wieringa yang berjudul "The Politization of gender relations in Indonesia: The Indonesian women’s movement and Gerwani until the New Order state". Disebutkan, sikap Soekarno terhadap perempuan yang berkebaya cenderung hanya didasarkan pada rasa kagum semata dan hasrat yang tertahan.
Tak hanya kebaya
Erotisme itu tak hanya milik kebaya semata, suku Dayak Kenyah juga menyuguhkan erotisme serupa dalam balutan pakaian Ta'a. Keseksian nampak pada rok yang terbelah dari atas hingga ke bawah di bagian belakang. Dari balik belahan itulah pria Dayak menikmati erotisme yang sesungguhnya. Tepatnya rajah yang melingkar di paha dan kaki perempuan adalah keindahan yang mereka nikmati. Rajah inilah penanda erotisme dan seksualitas para wanita Dayak Kenyah.
Lalu apa yang menarik dari baju Bodo, pakaian adat masyarakat Bugis-Makassar itu? Baju berbahan kassa tipis yang nyaris transparan itu sekilas memang mirip baju tidur wanita, yang menonjolkan lekuk indah tubuh pemakainya. Konon, para perempuan Bugis dulunya tidak malu-malu mengenakannya tanpa apapun di balik busana itu, hal ini diungkapkan seorang penjelajah bernama James Brooke yang berkunjung ke Makassar di tahun 1840.
Namun, tak ada yang seksi dari gadis berbaju bodo itu, meski lekuk tubuh mereka terlihat jelas, seperti dituturkan sebagian pria Bugis. Bagi mereka, tubuh yang sering terekspos jelas itu justru secara perlahan melunturkan keseksian sang wanita. Tubuh polos dalam balutan busana transparan itu tak lagi penting, sebab orang lebih tertarik dan penasaran mengetahui sesuatu yang lebih menarik di balik tubuh tersebut. Tak lain, kecerdasan dan tutur kata seorang perempuan adalah keseksian sejati yang lebih diminati pria.
Seksualitas dalam kebudayaan
Jika dikaitkan dengan kebudayaan, sensualitas dan seksualitas memang bukan hanya perkara kedekatan raga saja. Seks adalah bagian dari budaya, yang dipelihara, ditularkan secara turun temurun dan menjadi pedoman yang memengaruhi tindakan dan prilaku seseorang dalam masyarakat. Kebudayaan serta latar belakang yang berbeda akan memengaruhi mereka dalam menilai sebuah seksualitas, sehingga seks pun dipandang dan dinilai relatif bagi setiap orang yang terbiasa hidup dalam berbagai keragaman.
(maya/CN19) .suaramerdeka.com