KOMPAS.com - Saat kasus penyebaran video porno merebak melalui jaringan internet dan telepon seluler, sekolah dan polisi lantas merazia para siswa yang membawa telepon seluler. Berbagai peranti lunak untuk ”internet aman” ditawarkan.
Etty Setiabudy (45) terkejut ketika putranya, Alexander Khrisna Satyadhana (9), bercerita bahwa dua orang teman sekelasnya pernah menonton video porno yang pada bulan ini marak diperbincangkan. Kekagetan itu bertambah ketika anak teman sekantornya yang masih bersekolah di kelas dua sekolah dasar juga tahu tentang video tersebut.
Namun, Etty berusaha menyembunyikan kekagetannya di depan Alexander. ”Waktu dia bercerita, saya berusaha tenang. Soalnya, kalau saya terlihat kaget, itu justru akan memancing rasa penasaran dia,” kata Etty.
Selain dari teman-teman sekolah, Etty sangat khawatir anak semata wayangnya tersebut tahu tentang hal-hal berbau pornografi dari media televisi. Apalagi, sejak awal kasus ini mengemuka, semua stasiun televisi di negeri ini terus-menerus memberitakan hal tersebut, termasuk dengan menayangkan potongan gambar.
Etty berusaha agar Alexander tidak terakses tontonan stasiun televisi Indonesia. ”Kebetulan di rumah kami berlangganan TV kabel. Saya mengarahkan dia untuk nonton acara-acara yang mendidik, tetapi kan tidak semua anak seberuntung dia. Jadi, sebagai orangtua, saya berharap pemerintah mengontrol tayangan stasiun-stasiun televisi kita,” kata Etty.
Selain tindakan pemerintah, Etty sadar bahwa keluarga memiliki peran paling penting dalam mengawasi perilaku anak. Sesibuk apa pun bekerja, Etty berusaha meluangkan waktu untuk dekat dengan anak, seperti dengan cara berdiskusi.
Di samping itu, Etty juga mengontrol Alexander saat mengakses internet. Apalagi, tak bisa dimungkiri bahwa perkembangan teknologi sangat berpengaruh dalam kehidupan setiap orang saat ini, termasuk anak-anak.
Komputer di rumah Etty disimpan di tempat terbuka, yaitu di ruang keluarga agar pengawasan bisa dilakukan anggota keluarga lain saat Alexander tengah berinternet.
Selain itu, Etty berusaha mengenalkan pendidikan seks kepada anak dengan caranya sendiri. ”Sekarang ini sudah banyak buku tentang seks buat anak-anak yang penuh gambar, seperti komik. Saya sengaja membelikan buku-buku seperti itu, seperti anatomi tubuh manusia, supaya dia tahu dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Saat ini, dia bahkan sudah bisa menjelaskan kepada saya soal reproduksi,” ujar Etty.
Memberikan pendidikan seks dalam keluarga juga dilakukan Margaretha (62) guna membentengi anak dari pengaruh pornografi, terutama ketika lima anaknya mulai beranjak remaja.
Bersama suaminya, Etha—sapaan Margaretha—selalu membuka komunikasi dengan anak-anaknya. Hubungan mereka tidak sekadar seperti orangtua-anak, tetapi lebih seperti teman. Karena merasa sudah dekat, anak-anak Etha kerap bercerita kepada orangtuanya tentang hubungan mereka dengan pacar masing-masing.
”Sambil bercanda, saya selipkan nasihat agar mereka berhati-hati dalam menjalin hubungan,” kata Etha yang punya empat anak perempuan dan satu laki-laki ini.
Etha mengakui, memiliki empat anak perempuan sering membuat hatinya cemas mengingat pergaulan anak remaja awal tahun 1980-an dulu sudah semakin terbuka. Apalagi, pada masa itu film porno marak beredar dalam bentuk pita kaset video dan laserdisc. Kaset video ini mudah diperoleh oleh anak remaja masa itu.
Etha sempat kaget ketika menemukan satu kaset video porno di tas Dessy, anak perempuan ketiganya yang pada waktu itu masih berumur 17 tahun. Dessy yang kini sudah menikah dan berumur 34 tahun ini mendapat kaset tersebut dari pacarnya.
”Saya kaget. Namun, saya menyadari bahwa anak-anak remaja pasti penasaran dengan gambar porno atau video porno,” kata Etha, yang kemudian memberi pengarahan dari sisi psikologi dan sosial tentang seks.
Etha mengajarkan, bila remaja hamil atau mempunyai anak, sementara secara psikologis remaja tersebut belum siap, banyak konsekuensi yang akan dihadapi. Salah satunya adalah akan kehilangan masa remaja karena harus merawat anak.
Pendekatan melalui komunikasi terbuka juga dilakukan Titi Santiko Budi (41) yang memiliki dua anak, yaitu Allestisan Citra Derosa (13) dan Federick Muhammad (11). Titi mengatakan, karena tidak mengerti teknologi, dia memilih melakukan pendekatan melalui diskusi kepada anaknya, terutama kepada putrinya, Allestisan.
”Kebetulan dia orangnya terbuka dan kritis. Jadi, kami bisa sering diskusi. Biasanya saya coba ngobrol dengan dia di tempat tidurnya. Kalau dia sedang internetan, saya juga biasanya ikutan,” ujar Titi, yang seorang ibu rumah tangga.
Namun, cara berbeda harus dia terapkan kepada putranya, Federick. ”Kalau untuk dia, saya harus lebih tegas, tetapi sambil memberi penjelasan,” kata Titi.
Dengan cara seperti ini, Titi berharap kedua anaknya bisa menjaga diri agar tidak terpengaruh berbagai media yang menayangkan pornografi di luar rumah.
(Yulia Sapthiani/Lusiana Indriasari).http://health.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar