coba
RADIO MPU KANWA || BERANDA || PPNI || BELANJA DI GANJAR || UU KEPERAWATAN |
RIAS PENGANTIN DAN STUDIO FOTO
Anda Pengunjung Ke
Rabu, 22 Desember 2010
Istri Mendominasi, Apa Jadinya?
Diposting oleh
cingsingsehat
Oleh Er Maya Nugroho
TERGELAK saya dengan lirik nakal Sule yang curhat di lagunya bertajuk "Susis". Sepenggal liriknya kira-kira berbunyi seperti ini, "tak punya taring, tak punya takut, lho kok takut..kalo nyerocos, kalo ngedumel..aku takut."
Susis adalah akronim dari Suami Siuen Istri. Sieun terambil dari kosa kata sunda, yang diartikan takut. Jadi, kurang lebih arti judul lagu Sule tersebut adalah suami-suami yang takut istri.
Dan entah sejak kapan tepatnya, komunitas para suami takut istri, atau yang disingkat ISTI ini ada. Barangkali sejak adam dan hawa diturunkan ke bumi dan anak cucu adam lahir dengan beragam karakter. Emansipasi yang diperjuangkan Kartini, pun mungkin saja telah berimbas pada para hawa. Bahwa tak hanya pria yang boleh mendominasi, wanita pun tidak mau kalah.
Kisah suami takut istri ternyata tidak hanya digambarkan ada dalam cerita sinetron. Nyatanya secara jamak, kisah ini juga marak terjadi di sekitar kita. Peran istri yang lebih dominan, berhasil menguasai suami yang submisif. Rumah yang diharapkan penuh kedamaian, tak lagi jadi tempat yang meneduhkan, dan seketika berubah panas bagai di neraka.
Seperti halnya dialami Dani dan Dina yang menjalani kehidupan rumah tangganya. Tak ada lagi kebahagiaan yang menyelimuti hati Dani manakala melihat Dina, wanita yang dinikahinya selama 5 tahun itu. Tak ada lagi tegur sapa di dalam rumah, suasana menjadi semakin tegang, karena Dina kini berubah menjadi sosok menakutkan, dan diracuni kecurigaan berlebihan.
Sementara Dina manyadari Dani semakin menjauh, membuatnya semakin yakin Dani menyembunyikan sesuatu darinya. "Ia pasti selingkuh," bisik hati kecil Dina. Dina lantas membangun dinding kuat untuk menahan Dani. Ia memperlakukan suaminya bagai tawanan yang ditekan segala arah dan terpenjara di dalam rumah, yang hanya akan 'bahagia dan merasa lepas' jika bertemu rekan kantor yang seksi atau janda kembang di sebelah rumah.
Dalam siklus keluarga, hubungan setiap manusia pada dasarnya memiliki sifat mendominasi satu dengan yang lain. Namun semua tergantung pada pribadi masing-masing, jika satu lebih kuat dan mendominasi, bukan tidak mungkin pihak lain akan kalah. Faktor yang terus tumbuh subur dalam satu keluarga inilah yang kemudian memicu timbulnya bibit-bibit baru yang juga turut mendominasi.
Sebagai contoh, seorang ibu yang mendominasi dalam keluarga, secara tidak langsung akan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Mereka akan meneladani sikap ibunya ini apabila sudah menikah kelak. Faktor lain sebagai penyebab wanita mendominasi pasangannya adalah karena penghasilan wanita yang lebih besar daripada suami. Mereka yang merasa mampu dari sisi materi sebenarnya tidak siap dengan kondisi ini, dan lalu memilih bersikap super daripada suaminya.
Bukan tanpa alasan, sistem patriarki yang sudah mengakar kuat dan kini semakin bergeser karena emansipasi, membuat suami seakan rela mengalah posisinya yang dulu dominan kini direbut istri. Berkat emansipasi semakin menyadarkan wanita agar ia harus bisa setara dan tidak dilecehkan kaum pria. Pun ketika materi yang dihasilkan suami kalah jauh dibanding wanita, maka istri lantas menganggap suami tidak lebih pandai darinya.
Sepanjang istri masih bisa menghargai suami, itu tak masalah. Karena perlu disadari bahwa harta yang berharga bukan saja terletak pada materi karena sukses finansial bukanlah segalanya. Solusi untuk mengatasi kesenjangan materi ini adalah tanyakan pada diri sendiri, kualitas apa yang dilihat dari suami sehingga bersedia memilih menikahinya. Karena seburuk apapun suami di mata istri, dia memiliki aspek positifnya
Pihak yang dominan biasanya akan suka mendikte, padahal di dalam sebuah pernikahan, posisi suami istri harus setara dan saling mengisi. Sayangnya sifat mendominasi ini cenderung akhirnya menyebabkan pihak yang tertekan terpaksa mengalah, meski setengah hati menolak.
Dalam pernikahan, bukan hanya perkara suami atau istri tapi juga kesatuan dari dua pribadi yang manyatu dalam satu rumah tangga. Ketika dalam rumah tangga, sudah tidak lagi ada rasa saling menghargai dan menghormati, dimana ada pihak yang menekan yang lemah maka pernikahan ini sudah bisa disebut tidak lagi sehat. Pihak yang dominan inilah cermin pribadi yang tidak dewasa secara emosional, hingga bukan tidak mungkin akan timbul perasaan takut dalam dirinya yang mendera, kalau-kalau pasangannya selingkuh.
Jadi, agar hubungan rumah tangga yang terjalin bisa terjaga dengan baik, maka perlu adanya batasan yang bisa memberikan rasa nyaman, dimana terkemas dalam bentuk rasa saling menghargai dan menyayangi, memberi kebebasan pada masing-masing pihak bermodalkan kepercayaan dan penuh rasa tanggung jawab yang dipegang erat.
Untuk menghadapi sikap saling mendominasi dalam rumah tangga, diperlukan kedua belah pihak, baik suami atau istri untuk sama-sama mencari titik temu dan penyesuaian visi. Meski tak dipungkiri, sebuah pernikahan tak akan luput juga dari konflik sebagai bagian dari proses pendewasaan hubungan, agar pernikahan semakin solid.
Yang tak kalah penting yang harus kita lakukan adalah mengingat kembali tujuan pernikahan, bersedia mundur ke belakang, menatap masa dimana saat itu kita memutuskan memilih menikahi pasangan. Pun, tak hanya suami yang harus lebih sigap dan bisa diandalkan, dibutuhkan juga kerjasama dari istri untuk bisa lebih menghargai pasangannya, seburuk apapun itu. Inilah solusi terbaik demi kebaikan bersama, hingga tak perlu ada yang merasa tersindir lagu Sule dan terpaksa bergabung di "Ikatan Suami Takut Istri".
(maya/CN19).http://suaramerdeka.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar